UGM HARAPKAN PEMERINTAH BIJAK ATASI CANTRANG

UGM HARAPKAN PEMERINTAH BIJAK ATASI CANTRANG - Dengan adanya pp no 2 yang melarang penggunaan cantrang setidaknya menimbulkan gejolak yang sedikit panas di pantai utara jawa

Karena Pelarangan penggunaan cantrang dalam kegiatan penangkapan ikan sejak 2015  dinilai sangat merusak lingkungan dan habitat alam dan tak lepas dari itu kebijakan tersebut lalu telah menimbulkan polemik yang cukup panjang. 

Berkaitan dengan hal tersebut, Departemen Perikanan  UGM mengkaji kembali penerapan peraturan tersebut dari sisi akademis terkait pada aspek spesifikasi teknis alat tangkap cantrang, regulasi yang terkait dengan penangkapan ikan serta aspek sosial ekonomis dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

UGM HARAPKAN PEMERINTAH BIJAK ATASI CANTRANG

UGM HARAPKAN PEMERINTAH BIJAK ATASI CANTRANG
Sekretaris Departemen Perikanan UGM, Dr. Eko Setyobudi, mengatakan dari hasil diskusi dari pakar Deparemen Perikanan UGM yang dilakukan kemarin, Senin (22/1), diketahui penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang telah lama dilakukan oleh nelayan mulai sekitar tahun 1970-an, khususnya di Pantai Utara Jawa. 

Namun, apabila mengacu pada standar alat tangkap cantrang yang tertuang dalam SNI dan FAO, serta mengacu pada jalur yang telah ditetapkan maka tidak ada masalah dalam penggunaan alat tangkap cantrang karena masuk dalam kategori ramah lingkungan.

Namun demikian, imbuhnya, perkembangan teknologi dan modernisasi telah mendorong terjadinya modifikasi pada alat tangkap cantrang yang meliputi penggunaan tenaga mesin sebagai pengganti tenaga manusia dalam penarikan (hauling), panjang tali selambar, bukaan mulut cantrang dan ukuran jaring pada kantong, serta lemahnya penegakkan hukum, “Menyebabkan alat tangkap cantrang menjadi kurang ramah lingkungan,” kata Eko dalam keterangan kepada wartawan, Selasa (23/1).

Belum lagi, kata Eko, daerah sapuan alat tangkap menjadi semakin luas dan selektifitasnya rendah. Secara nasional, persentase jumlah penggunaan alat tangkap cantrang relatif kecil dibandingkan dengan alat tangkap yang lain, namun demikian di Pantai Utara Jawa persentasenya besar. “Kontribusi produksi ikan di daerah tersebut juga besar,” ujarnya.

Namun dari sudut pandang sosial dan ekonomi, tambah Eko, hasil tangkapan cantrang baik ikan target atau bukan target, telah memberikan manfaat yang besar bagi nelayan itu sendiri, industri pengolahan, baik industri kecil maupun industri besar. 

“Pada saat ini, alat tangkap cantrang telah menjadi alat tangkap utama khususnya bagi nelayan di Pantai Utara Jawa, yang melibatkan banyak pihak serta mempunyai multiplier effect yang cukup luas,” katanya.

Oleh karena itu, pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang, yang pada awalnya bertujuan untuk kelestarian sumberdaya ikan, telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian dan menimbulkan keresahan sosial yang cukup luas bagi nelayan di daerah tersebut.

Berdasarkan pertimbangan keberlanjutan sumberdaya ikan dan aspek sosial ekonomi perikanan cantrang, menurut Eko, pelarangan penggunaan cantrang secara total belum menjadi pilihan terbaik untuk saat ini. 

Namun, hal penting yang harus dilakukan adalah peninjauan dan pengaturan kembali penggunaan alat tangkap cantrang yang menyangkut standardisasi spesifikasi alat, daerah penangkapan dan regulasi operasional alatnya. 

“Apapun penerapan kebijakan yang dilakukan, harus didasarkan pada kajian ilmiah secara mendalam dan komprehensif terhadap aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek sosial ekonomi,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson) 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

           
         
close