Kapal perikanan berbahan baja menjadi salah satu pilihan modern dalam industri perikanan karena memiliki kekuatan, daya tahan, dan kapasitas muat yang lebih besar dibandingkan kapal kayu atau fiberglass (FRP). Namun, penggunaan kapal baja di sektor perikanan tidak lepas dari berbagai kendala dan permasalahan, baik dari sisi teknis, ekonomi, operasional, maupun sosial. Artikel ini membahas secara rinci hambatan-hambatan tersebut dan memberikan rekomendasi solusi.
Kendala Teknis
a. Karat dan Korosi
Baja sangat rentan terhadap korosi akibat paparan air laut yang bersifat asin. Jika lapisan cat pelindung rusak atau perawatan tidak rutin dilakukan, kerusakan lambung dapat terjadi lebih cepat. Hal ini memerlukan pengecatan ulang dan perawatan anti-korosi secara berkala, yang meningkatkan biaya operasional.b. Bobot Kapal
Kapal baja memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan kapal kayu atau FRP. Berat ini mempengaruhi kecepatan kapal dan memerlukan mesin dengan tenaga lebih besar. Akibatnya, konsumsi bahan bakar menjadi lebih tinggi, sehingga biaya perjalanan melaut meningkat.
c. Perawatan dan Docking
Perawatan kapal baja membutuhkan fasilitas khusus seperti dry dock untuk perbaikan dan pengecatan. Di banyak daerah pesisir, fasilitas ini masih terbatas sehingga kapal harus dibawa ke pelabuhan besar, yang memakan waktu dan biaya.
2. Kendala Ekonomi
a. Biaya Pembangunan Tinggi
Harga kapal baja jauh lebih mahal dibandingkan kapal kayu atau FRP. Modal besar ini menjadi penghalang bagi nelayan kecil atau koperasi perikanan untuk memiliki kapal baja secara mandiri.
b. Biaya Operasional dan Perawatan
Konsumsi BBM yang lebih tinggi, harga cat anti-karat yang mahal, serta biaya docking membuat kapal baja memiliki ongkos operasional yang lebih besar dibandingkan kapal kayu.
c. Ketergantungan Suku Cadang
Komponen mesin dan peralatan kapal baja sering kali harus diimpor atau dibeli di kota besar, sehingga perbaikan menjadi sulit dan mahal bagi nelayan di wilayah terpencil.
3. Kendala Operasional
a. Keterampilan Awak Kapal
Nelayan yang terbiasa mengoperasikan kapal kayu sering kali belum terbiasa dengan sistem kapal baja, termasuk pengelolaan mesin besar, kelistrikan, dan sistem hidrolik. Dibutuhkan pelatihan khusus agar kapal dapat dioperasikan secara optimal.
b. Ketersediaan Fasilitas Perbaikan
Bengkel kapal baja dan fasilitas dry dock masih terkonsentrasi di pelabuhan besar. Nelayan yang berada jauh dari fasilitas ini akan kesulitan melakukan perbaikan cepat.
c. Efisiensi Penangkapan
Jika desain kapal tidak sesuai dengan jenis alat tangkap yang digunakan, kapal baja dapat menjadi boros BBM dan kurang efisien dalam operasi penangkapan ikan.
4. Kendala Sosial dan Lingkungan
a. Penerimaan oleh Nelayan
Beberapa nelayan enggan beralih ke kapal baja karena biaya tinggi, perawatan rumit, dan kebiasaan menggunakan kapal kayu yang dianggap lebih mudah diperbaiki.
b. Dampak Lingkungan
Kapal baja yang rusak atau tidak terawat dapat menjadi sumber pencemaran laut akibat serpihan cat anti-karat yang mengandung bahan kimia berbahaya.
5. Rekomendasi Solusi
-
Pengembangan Desain Efisien – Menggunakan bentuk lambung yang mengurangi hambatan air sehingga hemat BBM.
-
Pelatihan ABK dan Nelayan – Meningkatkan keterampilan teknis dalam perawatan, pengoperasian mesin, dan pengelasan.
-
Skema Pembiayaan Terjangkau – Pemerintah atau lembaga keuangan menyediakan kredit lunak untuk pengadaan kapal baja.
-
Penyediaan Fasilitas Docking Daerah – Membangun dry dock dan bengkel di sentra perikanan.
-
Material Hybrid – Menggabungkan baja dengan material ringan seperti aluminium atau FRP untuk mengurangi bobot kapal.
Kesimpulan
Kapal baja perikanan memiliki potensi besar untuk meningkatkan produktivitas nelayan dan memperluas jangkauan penangkapan ikan. Namun, tanpa dukungan teknis, pembiayaan, dan infrastruktur perawatan, penggunaannya dapat menjadi beban bagi nelayan. Pendekatan terpadu antara pemerintah, industri galangan kapal, dan komunitas nelayan diperlukan agar kapal baja dapat menjadi solusi yang efisien dan berkelanjutan bagi industri perikanan Indonesia.