Nelayan Kecil Tolak Pemasangan VMS Pada Kapal Ikan
Aliansi Nelayan Sinjai
Ratusan nelayan dari Aliansi Nelayan Sinjai menggelar aksi unjuk rasa di halaman kantor DPRD pada Senin (7/1/2025) sebagai bentuk penolakan tegas terhadap penggunaan teknologi Vessel Monitoring System (VMS) yang dianggap memberatkan dan merugikan mereka.
Dalam orasinya, perwakilan nelayan, Israndi Musda, mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan yang mengharuskan pemasangan teknologi digital VMS. Ia menegaskan bahwa biaya yang diperlukan untuk alat tersebut terlalu tinggi, sehingga nelayan tidak mampu membelinya.
“Sekarang kami meminta dan mendesak pemerintah agar kebijakan ini dikaji ulang, karena alat ini sangat mahal dan kami tidak sanggup membelinya,” ujar Israndi.
Israndi menjelaskan bahwa beban ekonomi yang harus ditanggung oleh nelayan semakin berat. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, telah mewajibkan nelayan untuk melengkapi kapal mereka dengan peralatan transmiter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP), yang harga per unitnya dapat mencapai jutaan rupiah.
“Beban ekonomi yang kami hadapi sangat berat karena biaya pemasangan VMS berkisar antara Rp13 juta hingga Rp17 juta per unit, bahkan bisa mencapai Rp20 juta jika ditambahkan biaya lainnya,” tambahnya.
VMS sendiri adalah perangkat monitoring berbasis sinyal satelit yang beroperasi pada jaringan Inmarsat. Alat ini menawarkan fasilitas komunikasi data melalui satelit, memungkinkan pertukaran informasi kelautan dan perikanan untuk kepentingan nelayan, pemilik kapal, maupun penyedia layanan (operator).
Nelayan Kecil
Aliansi Nelayan Kendari
Ratusan nelayan Kendari menggelar aksi di Gedung DPRD pada hari Senin, 6 Januari 2025, untuk menolak dan mengajukan protes terhadap kebijakan pemerintah terkait penggunaan teknologi Vessel Monitoring System (VMS), yang mereka anggap sangat memberatkan.
Muh. Ansar, salah satu perwakilan nelayan, mendesak pemerintah agar meninjau kembali kebijakan pemasangan teknologi digital VMS ini, yang dinilai menyulitkan para nelayan. "Saat ini, kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini, karena alat tersebut harganya sangat mahal. Kami tidak mampu membelinya," ungkap Muh. Ansar.
Ia menjelaskan bahwa biaya pemasangan alat VMS berkisar antara Rp13 juta hingga Rp17 juta per unit, dan bisa mencapai Rp20 juta jika memasukkan berbagai biaya tambahan lainnya. Selain itu, setiap pemilik kapal penangkap ikan juga diwajibkan membayar biaya airtime tahunan sebesar Rp7 juta hingga Rp8 juta. "Ini sangat memberatkan," lanjut Ansar.
Demi meringankan beban, para nelayan berharap agar penggunaan VMS tidak dijadikan syarat wajib untuk melaut. "Kami berharap pemerintah segera mencari solusi agar aktivitas kami dalam menangkap ikan bisa kembali normal. Saat ini, sebanyak 190 unit kapal nelayan tidak beroperasi karena keberatan terhadap kebijakan pemaksaan pemasangan VMS," tambahnya.
Menanggapi keluhan tersebut, Ketua Komisi I DPRD Kota Kendari, Zulham Damu, menjanjikan untuk memperjuangkan aspirasi nelayan dan meneruskan hal ini kepada pemerintah pusat, khususnya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Kita harus menanggapi aspirasi nelayan ini dengan cepat, karena jika aksi ini terus berlanjut, Kendari dapat mengalami inflasi akibat kurangnya pasokan ikan dari hasil tangkapan nelayan," tegas Zulham Damu.\
"Kenapa para nelayan harus dibebani dengan biaya pembelian alat VMS yang mahal? Jika perlu, cari alat yang lebih murah atau bahkan gratis," tambahnya.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) dipimpin oleh Zulham Damu dan dihadiri oleh perwakilan dari seluruh komisi, termasuk LM Rajab Jinik, La Ode Ashar, La Ode Alimin, M. Syaifullah Usman, dan Mirdan. RDP ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Dirjen Perikanan Tangkap serta Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Belum ada Komentar untuk "Nelayan Kecil Tolak Pemasangan VMS Pada Kapal Ikan"
Posting Komentar